Student

Mahmud dan Bubur Ayam

Ada lima jenis sarapan yang secara acak saya pergilirkan tiap pagi: roti bakar, nasi uduk, bubur kacang hijau, ketupat sayur, dan bubur ayam.

Selasa ini, tukang bubur ayam yang tersenyum menyambut kedatangan saya. Di bawah rintik hujan, pedagang bubur generasi kedua ini mulai meracik.

“Pake kacang, Pak?”
“Pake.”
“Seledri?”
“Pakee..”
“Kecap?”
“Pakeee…”
“Sambel?”
“Pakeeee….!!!! Kenapa sih nanya-nanya melulu?!!!!?!”

Kang bubur berumur sekitar 25 tahun itu mengkeret….

“Ati ampela, Pak?” tanyanya lirih.
“Grrmblll..*&%@… aaargh…+%=@… Nggak. Duit gw cuman lapan rebu pas!”

Hehehe, ada dramatisasi di adegan ini. Tapi sebenarnya saya ingin sampaikan bahwa pedagang bubur ini berusaha memuaskan pelanggan dengan mengorbankan resep asli yang di restoran-restoran mapan semisal Krusty Krab begitu dibanggakan dan diterapkan secara konsisten. Di gerobak bubur, resep asli bubur sumedang atau cirebon harus rela bertekuk lutut di depan selera pelanggan. Jadilah racikan warisan sang bapak tak lagi murni.

Saat saya meneguk perlahan teh gratisnya, menghampirlah seorang mahmud (mamah muda). Pelanggan setia nampaknya.

“Bungkus, bang. Satu.”

Dengan cekatan, abang bubur meraih wadah styrofoam. Setelah menyendok bubur dan kuah kaldu, ia siap2 buka mulut tapi keduluan neng mahmud.

“Gak pake seledri, bang. Kecapnya dikit aja, sambelnya banyakin, atinya ajah ya, ampelanya gak usah….”

Di hadapan mahmud, tukang bubur lumpuh tak berdaya….

[SvB]

Author: Suryadi van Batavia

Apa yang kamu katakan hari ini?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.